Rabu, 01 Maret 2017

Realisme dan Neorealisme Menurut Waltz Kenneth.N

Realisme dan Neorealisme
I. Summary
Dalam tulisannya, “Realist Thought and Neorealist Theory”, Waltz mengemukakan 3 soal, yaitu: 1) pembentukan teori; 2) kaitan studi politik internasional dengan ekonomi; 3) realisme dan neorealisme.
Menurut Waltz, ada kesamaan dalam pembentukan teori pada studi ekonomi dengan studi politik internasional. Yakni dengan menempatkan ekonomi atau politik sebagai bidang sendiri, namun sekaligus berkaitan dengan bidang-bidang lainnya. Misalnya, fenomena ekonomi dapat dilihat dari berbagai proses yang berbeda. Hal ini juga pernah disampaikan oleh kaum Physiocrat yang digagas oleh Francois Quesnay, bahwa fenomena ekonomi dipandang sebagai sebuah bidang sendiri yang bisa berhubungan dengan kehidupan sosial dan politik. Sebagai contoh, Physiocrat membagi 2 kelas masyarakat dan di antara keduanya terjadi distribusi uang dan kekayaan. Kelas ini terdiri dari produktif (para pelaku sektor pertanian, pertambangan, perminyakan) dan tidak produktif (para pemilik dan para ahli).
Waltz juga menguraikan pandangan Raymond Aron dan Hans Morgenthau mengenai realisme. Menurut kaum realis, dunia ini terdiri dari negara yang memiliki kedaulatan sendiri-sendiri. Dunia bersifat anarki karena tidak ada pemerintahan internasional atau lembaga yang ada di atas negara. Setiap negara ingin lebih unggul dengan power yang dimiliki, terutama dari segi kekuatan militer. Hans Morgenthau (1985:4-17) mengemukakan asumsinya dalam “enam prinsip realisme politik”, yaitu Six Principle of Political Realism, chapter A Realist Theory of International Politics. Salah satunya adalah ide mengenai human nature atau animus dominandi  yaitu sudah menjadi sifat dasar manusia untuk mementingkan diri sendiri dan haus akan kekuasaan (power). Kepentingan akan power ini selalu membuat manusia atau negara saling mengadu kekuatan. Dalam realis, politik internasional dianggap sebagai arena konflik kepentingan negara yang diwujudkan lewat adu kekuatan secara fisik seperti perang.
Dari pendekatan realis ini kemudian berkembang menjadi konsep realisme baru yaitu neorealis,  yang dipelopori oleh Kenneth N. Waltz. Bagi Waltz, alasan negara mengejar kepentingannya bukan dikarenakan human nature, tetapi karena adanya struktur dalam dunia internasional yang anarki. Bahwa, terbentuk struktur antara negara yang kuat dan negara yang lemah. Dalam situasi anarki ini, setiap negara perlu melindungi keamanan negaranya sendiri dengan terus berupaya menempatkan negaranya ‘lebih’ di atas negara lain.
Pada realis, power menjadi fokus utama, sedangkan pada neorealis, negara lebih fokus pada rasa aman ketimbang power. Neorealis memuat konsep mengenai distribusi kekuatan dalam negara. Negara merupakan aktor rasional yang akan memilih strategi untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian. Sehingga, konsep perimbangan kekuatan menjadi fokus utama bagi konsep perdamaian dunia versi Waltz.
Tapi, satu hal yang mendasar dalam realisme maupun neorealisme, yaitu bahwa negara memandang negara lain sebagai musuh potensial yang mengancam keamanan. Artinya, kelemahan negara menjadi pemicu bagi negara lain untuk membangun kekuatan yang lebih besar agar dapat menginvasi negara lemah. Sebaliknya,  kekuatan yang terlalu besar atau ekstrim pada negara lain akan memicu sebuah negara untuk semakin meningkatkan pertahanan dan mengumpulkan kekuatan. Ini yang dikenal dengan security dilemma.

II. Analisa
Dari ringkasan di atas, berikut beberapa pertanyaan yang akan diuraikan lebih lanjut:
  1. Bagaimana Waltz menyelesaikan hambatan dalam menjelaskan pembentukan dan pengaplikasian teori?
  2. Mengapa Waltz kerap mengkaitkan antara ekonomi dan politik internasional?
  3. Bagaimana definisi power dalam pengertian realisme dan neorealisme?
  4. Bagaimana peran neorealisme dalam relasi internasional?
  5. Apakah dalam konsep realisme, interaksi antar negara tetap terjadi?

a. Pembentukan Teori
Dalam soal pembentukan teori, persoalan yang kerap diperdebatkan adalah adanya kesulitan dalam membentuk sebuah teori  Ini yang dialami para teoris, baik dalam studi politik internasional maupun juga ekonomi. Mengenai ini, Waltz mengkritik pembentukan teori, misalnya oleh Raymond Aron mengenai realis. Ada kompleksitas/kerumitan yang membuat teori menjadi sulit dirancang. Misalnya, Aron mempertanyakan apakah variabel ekonomi, politik, dan sosial masuk ke dalam sistem internasional; kepentingan negara yang banyak; ada pembedaan antara variabel dependen dengan independen. Masalah-masalah ini sebenarnya tidak perlu dibuat rumit. Yang perlu lebih diperhatikan adalah masalah pengaplikasian sebuah teori.
Pada tulisannya yang lain[1], Waltz menjelaskan bahwa sebuah teori harus bisa diujikan pada bidang yang ingin dijelaskan oleh teori tersebut. Jika ada hal yang tak mampu dijelaskan oleh sebuah teori, maka tak berarti teori itu gagal atau tak sempurna. Sebab, Waltz telah memberi batasan bahwa sebuah teori tak mungkin mampu menjelaskan semua permasalahan. Jadi, sifatnya terbatas dan digunakan sesuai kasus tertentu.
b. Ekonomi dan Politik Internasional
Keterkaitan antara ekonomi dan politik internasional sederhananya dilatari oleh persaingan antar negara yang memang kerap terjadi dalam bidang ekonomi. Bahkan, saat ini menjadi persaingan utama, selain bidang militer yang merupakan pengejawantahan power suatu negara. Hal ini senada dengan John J. Mearsheimer[2], bahwa power yang utama dalam pendekatan realis adalah potensi ekonomi dan militer yang dimiliki oleh negara. Seperti yang dinyatakan juga oleh Barry Buzan, adanya pembahasan ekonomi politik internasional diasumsikan sebagai teori yang baik untuk menjelaskan politik internasional itu sendiri. Bahkan,perlu dilihat bahwa teori ekonomi politik internasional akan dapat merepresentasikan hubungan internasional. Begitu pula Charles W. Kegley[3] menyatakan bahwa ekonomi erat kaitannya dengan politik internasional karena pertumbuhan ekonomi bisa menjelma sebagai faktor penting dalam memperkuat dan meluaskan power dan prestise sebuah negara. Senada dengan Padelford dan Lincoln (1954), bahwa ada 4 kecenderungan dalam politik internasional. Dua di antaranya yaitu mengenai politik internasional mengupayakan standar kehidupan yang lebih baik dengan memperkuat ekonomi negara; dan perjuangan  untuk mempertahankan dan meningkatkan keamanan nasional (militer).

c. Realisme dan Neorealisme
Sebenarnya dalam realisme dan neorealisme, perlu dipahami bahwa keduanya sama-sama menyebutkan bahwa dunia ini anarki dan bahwa setiap negara punya kedaulatannya masing-masing dan terus meningkatkan power. Dalam realis, perlu ada strategi untuk memaksimalkan power  dan kapabilitas negara. Power  merupakan tujuan dari negara.
Berbeda dengan neorealis, menurut John Mearsheimer, neorealis berusaha untuk memaksimalkan distribusi kekuatan antara yang kuat dan yang lemah sehingga dicapai perimbangan. Power merupakan maksud sekaligus tujuan dari negara. Kekuatan yang terlalu besar dalam negara justru tak baik dampaknya dalam struktur internasional. Misalnya, ketika PD II usai, pihak sekutu menang sekaligus membuat Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai kekuatan adidaya. Dua negara yang tadinya ‘berkawan’  ini kemudian saling melawan dikarenakan kekuatan adidaya (terlalu besar) di setiap negara.
Lantas, apa saja yang menjadi elemen power. Bila dilihat dari konsep dasar teori realisme yang orientasinya kepada perang, maka power  terdiri dari kekuatan senjata dan militer, termasuk yang berkaitan dengan itu seperti anggaran militer. Sementara, bila dilihat secara lebih luas, banyak hal yang bisa menjadi elemen power. Misalnya, jumlah penduduk, sumber daya alam, industri, ekonomi, batas wilayah, ideologi, cara berpikir, gaya hidup. Di Indonesia, jumlah penduduk bisa menjadi power setidaknya tampak dalam lingkup ASEAN. Karena, 46 persen warga ASEAN terdiri dari penduduk Indonesia. Sama dengan yang disampaikan oleh Mearsheimer, bahwa power yang utama ada dalam kekuatan militer yang ditunjukkan dengan angkatan bersenjata atau senjata nuklir. Hal ini terlihat pada negara Amerika yang sekaligus merupakan ‘raja’ kapal induk di dunia. Lalu, ada pula power dari segi sosial ekonomi yang dapat ditujukan untuk menyokong militer, seperti kekayaan negara, jumlah populasi, teknologi. Sebagai contohnya, negara China.
Selanjutnya, dalam dunia yang anarki, baik realis maupun neorealis, pada keduanya berlaku kondisi uncertainty atau ketidakpastian dalam negara. Ini artinya, masing-masing negara tidak saling mengetahui kapabilitas negara lain. Pada akhirnya, setiap negara akan merasa kedudukannya selalu terancam oleh negara lain. Dalam neorealisme, keadaan anarki dan negara yang berdaulat dapat diartikan bahwa suatu negara tidak punya kewenangan untuk mengganggu negara lain yang juga punya kedaulatannya sendiri.
Tetapi, perlu dipahami bahwa negara juga perlu menjamin keamanannya sendiri. Dengan begitu, negara harus mampu menilai dirinya sendiri. Jika sebuah negara tidak mampu membangun kekuatan militer untuk memenuhi rasa aman tersebut, maka negara bisa memilih opsi melakukan pakta militer dengan negara yang lebih kuat. Hal ini dikenal dengan balance of power atau distribution of power atau perimbangan kekuatan. Seperti yang pernah dilakukan dalam PD II: Amerika Serikat, Uni Soviet, Cina melawan Jerman, Italia, Jepang.
Selain menyoal kedaulatan negara, dalam neorealisme ada pemahaman bahwa setiap negara juga punya kepentingan nasional masing-masing. Untuk menjembatani hal ini, maka persamaan kepentingan negara dapat diarahkan lewat bentuk interaksi kerjasama dalam relasi internasional. Sebaliknya, perbedaan kepentingan akan terwujud dalam bentuk konflik yang bisa dihindari, misalnya lewat konsep balance of power (Vandana, 1996:17).
Adapun bentuk interaksi dalam relasi internasional ini terdiri dari 3 macam sesuai dengan Joseph Frankel[4]. Yaitu, cooperation (kerja sama), competition (persaingan), dan conflict (konflik). Persaingan  termuat dalam konsep realisme dan neorealisme, yaitu bahwa antar negara pasti akan saling bersaing agar negaranya menjadi yang terbaik. Suasana kompetisi perlu disikapi secara positif oleh negara karena akan dapat merangsang kreativitas negara. Kerjasama termasuk ke dalam pengertian neorealisme, dan konflik termasuk ke dalam pengertian realisme. Baik itu kerjasama, persaingan, ataupun konflik sebenarnya ketiga bentuk interaksi ini sekaligus menunjukkan bahwa negara akan saling berinteraksi satu sama lain. Bahkan, antara negara besar dan kecil sekalipun. Dalam ranah neorealisme, negara besar akan terus berupaya mempertahankan ‘nama besarnya’, misalnya dengan membantu negara kecil. Begitu juga negara kecil akan terus menjaga hubungan baik dengan negara besar yang menurutnya dapat membantu dalam memenuhi kepentingan negaranya.


III. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa neorealis hadir sebagai kritik atau bisa dianggap sebagai penyempurna terhadap teori pendahulunya yaitu realis.Oleh karena itu, meskipun berbeda, tetapi masih terdapat akar persamaan di antara keduanya. Salah satunya, yaitu bahwa negara perlu power. Rancangan terhadap neorealis ini didasari pertimbangan bahwa ada kesulitan yang dihadapi dalam mengaplikasikan teori realis. Sehingga Waltz melakukan penyederhanaan lewat teori neorealismenya. Selanjutnya, baik realis maupun neorealis sama-sama berbicara mengenai power yang utamanya terdiri dari ekonomi dan militer negara. Perbedaannya adalah, power dalam realis harus diperoleh secara murni oleh negara sehingga kepemilikannya mutlak oleh sebuah negara. Namun, dalam neorealis, power bisa dibagi agar seimbang antara negara yang kuat dengan negara yang lemah. Sebab, kekuatan yang terlalu besar dalam sebuah negara justru akan berdampak tidak baik karena berpotensi merusak sistem atau struktur internasional. Sehingga, di antara negara yang kepentingannya sama, lebih baik menjalin kerjasama yang dapat menghindarkan kerugian. Hal ini sekaligus untuk mengaplikasikan balance of power.


Daftar Pustaka
Frankel, Joseph. International Relations in a Changing World. New York: Oxford University Press, 1988.
Kegley, Charles W. World Politics: Trend and Transformation. USA: Wadsworth Cengage Learning, 2009.
Mearsheimer, John J. “Structural Realism.” In International Relation Theories: Discipline and Diversity 2nd Edition. ed. Tim Dunne, Milja Kurki and Steve Smith.
Waltz, Kenneth N. “Anarchic Orders and Balances of Power.” In Neorealism and Its Critics.ed. Robert O. Keohane.New York: Columbia University Press.
Waltz, Kenneth N. “Realist Thought and Neorealist Theory.” In Journal of International Affairs 44 (Spring/Summer), 1990.
Vandana.  Theory of International Politics. New Delhi: Vikas Publishing House PVT LTD, 1996.




[1] Kenneth N. Waltz, “Anarchic Orders and Balances of Power” in Robert O. Keohane (ed.), Neorealism and Its Critics. New York: Columbia University Press, pp 98-130
[2] John J. Mearsheimer. “Structural Realism” in Tim Dunne, Milja Kurki and Steve Smith (ed.), International Relation Theories: Discipline and Diversity 2nd Edition, pp 58-76.
[3] Charles w.Kegley, “World Politics Trend and Transformation, USA: Wadsworth Cengage Learning, pp 25-32.
[4] Joseph Frankel, “International Relations in a Changing World”, New York: Oxford University Press, 1988, pp 81-129.

Senin, 06 April 2015

Persoalan Golput Di Indonesia



Janganlah berpuas diri kalau menjadi seorang Golput
            Makna yang ada di dalam diri golput pada mulanya merupakan hal positif. dikarenakan alur ini menuju kepada kelompok-kelompok tertentu yakni kalangan yang berpendidikan tingkat tinggi, dalam aktifitas sosial politik cukup optimal dan memiliki perspektif yang kritis, karena itulah kemudian memberikan wawasan yang agak menyimpang dalam proses memberikan suara pada pemilu. karena pada sejarah nya munculnya para golput ini ialah adanya sikap yang tidak yakin kepada partai-partai politik, yakni pada era rezim orde baru, pada saat menjelang Pemilu 1971. para masyarakat menilai bahwa parpol pada saat itu sama saja yakni berada genggaman rezim soeharto, partai lain pun yang menjadi pilihannya seakan menjadi pelengkap pemilu saja karena yang akan menang pun Golkar.

            Dalam situasi pemerintahan yang otoriter tersebut, menjadi seorang golput merupakan perkara yang tidak mudah harus di bekali tekad yang kuat yang ada dalam diri sendiri. karena, menurut aparat negara kala itu sikap golput merupakan bentuk tindakan perlawanan terhadap demokrasi negara, di samping itu pula sebenarnya memilih adalah hak dari setiap warga negara. Persoalan warga menjadi golput pun pilahan, karena sikap seperti itu merupakan tantangan besar  tersendiri bagi mereka dalam menghadapi resiko disamping itu pula menjadi kebanggaan tersendiri.

            Akan tetapi, disisi lain pasca reformasi yang sudah mengalami perubahan signifikan, sikap memilih untuk menjadi golput seharusnya jangan lagi di lakukan, apa lagi merasa bangga. artinya tidak ikut berpartisipasi terhadap kelangsungan proses berdemokrasi dan evaluasi negara. memang, memberi suara pada seorang calon pejabat atau pun partai yang di percayainya merupakan harapan untuk tercapainya perubahan lebih baik lagi di dalam penyelenggaran negara

            Namun, pada masa sekarang, pada kenyataannya warga negara didoktrin untuk memberikan partisipasi yang real dalam politik. lalu pada orang-orang yang memiliki intelektualitas lah dan integritas yang lebih dalam hal politik seyogyanya berperan aktif untuk memperbaiki negara agar stabilitas pada pemerintah dan masyarakat terjaga. Dengan integritas yang lebih itu seyogya nya merekalah yang seharusnya menjadi pemimpin-pemimpin di negara oleh karena itu para
penyelenggara negara yang ada di eksekutif, legeslatif dan legeslatif, baik yang dipilih secara langsung atau pun tidak langsung seperti di tunjuk oleh DPR atau Menteri oleh Pemerintah. setidak nya mereka hanya "berkoar-koar saja dari panggung politik tanpa memiliki wewenang, karena wewenang itulah powers yang sesusungguhnya di dalam menetukan putusan Policy.

Problem sifat netral terhadap golput
            Para mereka-mereka yang masih tetap simemilih jadi golput sebenarnya tidak begitu memahami secara detail tentang perubahan kondisi dan tidak pula tanggung jawab sebagai warga negara yang baik karena berpatisipasi dalam hal Pemilihan artinya juga mengkontruksi tatanan politik agar berkonotasi menuju perbaikan.
Di karenakan menjadi seorang golput itu, malah menunjukan kemunduran sikap dan ketidakmampuan dalam berpartisipasi secara nyata dalam hal politik. di samping itu pula, masa kini bisa di katakan era politik yang sangat buruk dan karena itulah di gunakan solusi-solusi yang lugas untuk memperbaiki sistem politik hukum pada negara dengan cara -cara yang perlu di rencanakan matang-matang.

            pada saat ini, di perlukan jargon politik yang mau menyumbang ide pemikirannya untuk pendidikan politik kepada masyarakat luas dan paling utama dengan cara spontan melihat dan mengamati fenomena panggung politik, agar
memiliki tujuan dan objek yang tepat. Jika tidak masuk dalam struktur politik, maka harus ada ide untuk mengkodinir masyarakat agar berani dalam menentukan bakal calon-calon tertentu  yang mereka yakini untuk di dukung dan harus memiliki syarat yakni kapasitas, integritas, kapabilitas, berkomitmen dan juga sesuai kompetensi pada bidangnya agar ideal untuk menjadi pemimpin atau pun penyelenggara Negara.
Disisi lain politisi yang idealis masih ada dan selalu ada, itupun kalau di jumlah totalnya sedikit. namun mereka itulah yang seyogyanya mendapatkan suport dan payung hukum agar dapat masuk dalam sebuah persaingan power dan bisa melakukan perjuangan politik dari dalam.


            Sedangkan sikap netral yang acapkali di tunjukan oleh orang-orang yang merasa dianggap baik-baik saja dan ber etika, bisa pula menjadi sikap agak kurang di pahami, karena tidak bisa menjadi bahan referensi publik di samping untuk panduan dalam halnya memilih bakal calon yang notabene harus memiliki akuntabilitas yang tinggi. dengan itu Keberanian untuk memposisikan diri secara tegas kepribadian calon tertentu yang dianggap nya memiliki kualifikasi sebagai politisi yang berkompeten itu sangat di perlukan. yang paling penting yaitu tidak di jadikannya keberpihakan itu sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan materi, baik itu untuk kepentingan golongan apalagi diri sendiri. lalu keberpihakan itu harus seolah-olah di fokuskan untuk mengawali rekontruksi negara untuk menjadi lebih baik lagi.

Ulasan keadaan politik Indonesia dimata Negara Asia Tenggara

Pada bagian pertama mengenai Sejarah Lika-liku politik Indonesia dari masa Orde Baru sampai Reformasi dan terkadang di singgung ke Tentang Kebijakan Yg di miliki Soekarno. Namun perihalnya politik Indonesia sangat rentan konflik sebab, banyaknya Gerakan politik dan Ormas yang saling berkompetisi dalam panggung politik Di Indonesial, yakni salah satu yang kami Kritisi adalah Para Partai Islam di Indonesia.
            Mengenai sepak terjang para Para Partai Politik Islam di Indonesia itu memang bisa kita lihat dari sejarahnya yakni Masyumi, hanya selingan saja pada mulanya Muhammad Natsir ingin membentuk Negara Islam Indonesia, namun disisi lain Soekarno keberatan karena Negara Integral itu tidak cocok untuk Negara yang sangat besar ini di samping itu Etnik dan Budayanya berbeda-beda oleh karena itu Soekarno ingin Menyatukan daerah Nusantara ini seperti halnya Pada zaman Majapahit yakni Gajah mada menginstruksikan Kawasan Nusantara dari Semenanjung Malaya hingga bagian ujung Selatan Laut China Selatan yakni Serawak dan Sabah serta sampai Pulau Palawan (Filipina sekarang) dan sampai ke Irian Jaya ( Papua sekarang ). Lalu di situ lah Muhammad Natsir Setuju yakni terbentuk lah NKRI. Yakni pada di cabinet Natsir.
            Sejalan dengan itu menyambung penjelasan di atas Indonesia di pandang dalam dunia Internasional terutama di Asia Tenggara, Indonesia adalah memiliki Komunitas Muslim pertama di Asia Tenggara dan yang kedua itu Malayasia, Lanjut Brunei. Lantas negara Indonesia ternyata dari dulu memang mempunyai komunitas muslim dari beberapa golongan yakni ada namanya Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), Jemaah Islamiyah serta Jaringan organisasi muhammadiyah yang bagian perempuan yakni Nasyiatul Aisyiyah. Namun disisi lain Pekerjaan besar bagi Pemerintah adalah memerangi Terorisme karena negara Indonesia mempunyai masa kelam di antara tahun 2002-2007 mengalami terror Bom. Yang di sinyalir adalah anggota Jemaah Islamiyah dan di duga mempunyai jaringan Al-Qayida di Afganistan.
            Mengenai Gerakan politik Islam Indonesia pada dasarnya tujuannya baik karena seorang figure Seorang GUSDUR bisa menyihir para kaum Cendikiawan Muslim Indonesia untuk merevolusi Indonesia dengan cara Sosial dan mentoleransikan Keberagaman dan Juga Pluralisme nya bisa di terima dari beberapa masyarakat Indonesia begitupun juga Amien Rais Dengan pahaman Muhammadiyahnya untuk rakyat Indonesia demi mendirikan jiwa dan kekuatan iman, Akhlak bagi setiap Umat agar tercipta nya Paradigma Nasional kearah lebih baik lagi, namun disisi lain GUSDUR Pada masa ia menjabat  Presiden merupakan tantangan tersendiri karena Indonesia masih dalam Pembaharuan Demokrasi sebab Kala itu tahun 1997-1999 Indonesia sedang mengalami krisis yang sangat pilu. Memang Pemilu 1999 seperti obat mujarab untuk mengobati pedihnya Demokratisasi di hati masyarakat Indonesia karena dari tahun 1968-1998 Kita sedang dipimpin oleh Rezim Otoriter memang antara tahun 1970-an sampai 1990-an ibu dan kakek nenek kita merasakan Ekonomi yang cukup stabil namun disisi lain Keadaan Politiknya itu sangat Represif sekali karena kala itu masih di legalkannya Dwi Fungsi ABRI Untuk mengintervensi Nagara. Namun  itu sebenarnya TNI memang kala itu di pimpin oleh Jendral H.R. Nasution dan Mayor Umar Wirahadakusuma akan tetapi perintah harus tunduk kepada Suharto, bahkan ada cerita para Aktivis dan Jurnalis itu kalau ketahuan menulis kejelekan pemerintah Orde Baru pasti akan duculik dan hilang ditelan waktu seperti halnya tragedi yang di sembunyikan yakni Etnis China di Tanjung Priok yang di buang ke laut. Itulah hanya segelintiran sejarah yang di cerminkan di kawasan Asia Tenggara yakni Indonesia pernah di pimpin oleh Seorang Diktator selain itu juga Ada Burma pada waktu itu juga namun itu bisa juga sebagai Ciri Khas dari sebuah Negara, di Asia Tenggara. Sebeb kawasan tersenut sangat unik dan mempunyai cirri khasnya masing-masing.
            Disisi lain era reformasi Pada pemerintahan SBY mengenai konstelasi global SBY sendiri mengaku kedekatannya dengan Presiden Barack Obama, Menurut kepala negara Amerika Serikat yang pernah menghabiskan masa kecilnya di Indonesia, Indonesia tidak hanya penting bagi kawasan, namun juga sebagai salah satu anggota negara G 20.
            Sebagai salah satu negara dengan penduduk islam yang besar, Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar. Menurut Obama Indonesia juga sangat berpotensi dalam strategi pengembangan dan demokrasi serta strategi antar agama yang sangat penting pada masa depan.Obama menuturkan bahwa kedua kepala negara tersebut telah membicarakan hubungan bilateral yang lebih baik lagi, perjanjian kerja sama menyeluruh yang menyangkut bidang pendidikan, masalah penggunaan energi bersih, menyebarkan perdamaian dan memerangi terorisme di Indonesia.
            Selain itu, keduanya juga mendiskusikan tantangan yang lebih besar untuk mencapai tujuan perjanjian Copenhagen dan terus menstabilisasi dan mendorong ekonomi dunia, dengan perdagangan dan investasi yang telah dibicarakan dalam ASEAN Summit.
            Obama mengaku sangat senang dalam menyambut prospek hubungan kedua negara pada masa depan, dan juga berniat untuk datang ke Indonesia tahun depan.
            Pada kesempatan yang sama, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono menghargai pendekatan cara baru AS kepada dunia, terhadap berbagai masalah termasuk dalam pendekatan positif dengan dunia Islam.
            Kerja sama bilateral yang dimaksud oleh presiden RI meliputi bidang perdagangan dan investasi, pendidikan dan teknologi, perubahan iklim, ketahanan pangan dan energi, melawan wabah penyakit menular dan memerangi terorisme, serta melakukan hubungan people to people (antar manusia)

Pertubuhan Ekonomi Indonesia
            Mengenai Kekuatan Ekonomi politik Indonesia sebenarnya setingkat ke 4 karena Singapore, Malaysia dan Thailand lebih banyak GNB nya. Namun di kami membandingkan dengan Malaysia. Lantas bagaimana sesungguhnya kondisi ekonomi Indonesia dibandingkan dengan Malaysia.Untuk melihat kemakmuran kedua negara, banyak kalangan biasanya menggunakan ukuran pendapatan kotor per kapita (GNP) sebuah negara. Di sini bisa dibandingkan GNP antara Indonesia dengan Malaysia.
            Jika mengacu pada data World Development Indicators database yang dirilis oleh Bank Dunia pada 1 Juli 2009, Malaysia berada di urutan ke 79 dengan GNP per kapita sebesar US$ 13.740 per tahun. Sedangkan, Indonesia berada di urutan ke 146 dengan GNP per kapita sebesar US$ 3.830 per tahun. Itu setara dengan Rp 38 jutaan per tahun.

            Itu berarti GNP per kapita Malaysia 3,5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia. Artinya, penduduk Malaysia yang populasinya jauh lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia secara rata-rata lebih makmur dari Indonesia.
Populasi Malaysia pada 2008 sekitar 25 juta orang. Sedangkan jumlah penduduk Indonesia 240 jutaan orang atau 10 kali lipat dibandingkan penduduk Malaysia.
            Namun, jika membandingkan seberapa besar volume ekonominya secara nasional, Indonesia jauh lebih besar dibandingkan Malaysia. Artinya, dilihat dari sisi kekuatan ekonomi, Indonesia jauh lebih berpengaruh dibandingkan Malaysia.
Menurut data World Development Indicators database 2008 yang dirilis Bank Dunia pada 1 Juli 2009, dilihat dari sisi produk domestik bruto (PDB), Indonesia jauh lebih kaya ketimbang Malaysia. Indonesia berada di urutan ke-19 mengalahkan negara-negara maju seperti Belgia, Swiss, Swedia, Norwegia, Denmark dan Arab Saudi.
            Indonesia berada di bawah China, India, Australia dan Meksiko. Total PDB Indonesia berdasarkan data Bank Dunia sebesar US$ 514 miliar atau sekitar Rp 5000 triliunan.
            Dengan PDB sebesar itu, Indonesia adalah negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Karena itu, Indonesia satu-satunya negara yang mewakili Asia Tenggara dalam forum G-20, kumpulan 20 negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Selain Indonesia, di sini ada pula Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Jepang, China, India, Rusia hingga Australia.
            Sedangkan, kekuatan ekonomi Malaysia jauh berada di bawah Indonesia. Bahkan, Malaysia juga kalah oleh Thailand, Afrika Selatan, Israel dan Nigeria sekalipun. Malaysia berada di urutan ke 42 dengan total PDB sebesar US$ 194 miliar atau hampir Rp 2000 triliunan. Artinya, kue ekonomi nasional Malaysia tidak sampai separuhnya ekonomi Indonesia.
Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata minimal 7 persen per tahun, Indonesia diharapkan bisa mendongkrak pendapatan per kapita masyarakat.

            Tak mengherankan, lembaga keuangan dunia seperti PricewaterhouseCoopers memperkirakan Indonesia bakal menjadi kekuatan ekonomi baru dunia bersama Brazil, Meksiko, Turki dan Rusia. Ekonomi Indonesia bakal jauh lebih maju dengan pendapatan per kapita berkali lipat. Jadi, mengapa musti tunduk dengan Malaysia?

To Be Continued..